A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kesatuan
yang disebut dengan eenheidstaat ,
yaitu negara merdeka dan berdaulat yang pemerintahannya diatur oleh pemerintah
pusat. Sistem pelaksanaan pemerintahan negara dapat dilaksanakan dengan cara
sentralisasi. Dimana kedaulatan negara baik kedalam dan keluar, ditangani
pemerintah pusat. Dalam konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 4 ayat (1) dikatakan bahwa
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar , sehingga dalam pasal ini apabila kita tafsirkan bahwa
pemegang kekuasaan tertinggi di negara RI yaitu presiden kekuasaan yang tidak terbagi
dan hanya ada satu pemerintah yang berdaulat sehingga jelas negara kita pada
dasarnya menganut asas sentralisasi/sentralistik.
Namun karena luasnya daerah-daerah
di negara kita yang terbagi-bagi atas beberapa provinsi,kabupaten serta kota
maka daerah-daerah tersebut memiliki pemerintahan daerah dengan maksud guna
mempermudah kinerja pemerintah pusat terhadap daerahnya sehingga digunakanlah
suatu asas yang dinamakan asas otonomi sesuai dengan yang diatur dalam pasal 18
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dari
itu pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya , kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat, sehingga dalam hal ini menimbulkan suatu hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah di daerah.
Hal mengenai Otonomi Daerah di
Indonesia merupakan sesuatu yang menarik untuk kita cermati dan kita kaji ,
karena perjalanan untuk menuju ke arah otonomi daerah di Indonesia penuh dengan
lika-liku dari awal kemerdekaan Indonesia hingga masa reformasi di Indonesia.
Terhitung Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia
mengalami 8 kali pergantian dari awal kemerdekaan , masa orde baru hingga saat
ini dan satu kali perubahan mengenai
pemilihan kepala daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia dapat kita lihat dalam 3 proses menurut bagir manan disebut dengan
proses bukan sebagai asas diantaranya :
1.
Sentralisasi yang pada pemerintahan daerah diwujudkan dalam lebih diterapkannya
dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah
dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.[1]
2.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonomi untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan Republik
Indonesia.[2]
Pada prinsipnya , kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di
tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah
pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya
sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota
di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan
bergerak dari daerah ke tingkat pusat maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya
kebijakan otonomi daerah itu , arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya
, yaitu dari pusat ke daerah.[3]
Maka otonomi hanya salah satu bentuk desentralisasi. Otonomi juga diartikan
sebagai sesuatu yang bermakna kebebasan atau kemandirian (zelfstandigheid)
tetapi bukan kemerdekaan (Onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau
kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan.[4]
Persoalan lain yang muncul dalam
otonomi adalah berkaitan dengan urusan daerah yang dapat diatur dan
diselenggarakan oleh daerah yang bersangkutan . Artinya urusan daerah yang
bagaimanakah yang dapat diatur dan diselenggarakan berdasarkan kepentingan dan
aspirasi masyarakat daerah , hal inilah yang menimbulkan lahirnya berbagai
jenis otonomi. Dalam kepustakaan terdapat beberapa jenis otonomi yaitu :[5]
(1) otonomi materiil, mengandung arti
bahwa urusan yang diserahkan menjadi urusan rumah tangga diperinci secara tegas
, pasti dan diberi batas-batas (limitative), zakelijk dan dalam praktiknya
penyerahan ini dilakukan dalam UU pembentukan Daerah yang bersangkutan.
(2) otonomi formal, urusan yang
diserahkan tidak dibatasi dan tidak zakelijk. Batasnya ialah, bahwa Daerah
tidak boleh mengatur urusan yang telah diatur oleh undang-undang atau peraturan
yang lebih tinggi tingkatannya. Selain itu , pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum.
(3) otonomi riil, merupakan kombinasi
atau campuran otonomi materiil dan otonomi formal. Di dalam undang-undang
pembentukan Daerah , pemerintah pusat menentukan urusan-urusan yang dijadikan
pangkal untuk mengetur dan mengurus rumah tangga Daerah. Penyerahan ini
merupakan otonomi riil. Kemudian setiap waktu Daerah dapat meminta tambahan
urusan kepada Pemerintah Pusat untuk dijadikan urusan rumah tangganya sesuai
dengan kesanggupan dan kemampuan Daerah. Penambahan urusan pemerintahan kepada
daerah dilakukan dengan UU penyerahan masing-masing urusan.
3.
Medebewind atau Tugas Pembantuan , adalah penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melakukan tugas tertentu.[6]
Pemencaran penyelenggaraan negara
dan pemerintahan dalam satuan-satuan teritorial yang lebih kecil dapat
diwujudkan dalam bentuk-bentuk dekonsentrasi teritorial,satuan otonomi
teritorial, dan federal. Selain bentuk-bentuk utama di atas, ada beberapa cara
yang lebih longgar seperti konfederasi atau Uni. Tetapi dua bentuk terakhir ini
dapat disebut sebagai suatu pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan
karena tidak diikuti dengan pembagian kekuasaan atau wewenang. masing-masing
tetap secara penuh menjalankan kekuasaan sebagai negara.
Dari bentuk-bentuk utama pemencaran
penyelenggaraan negara dan pemerintahan di atas , akan dijumpai paling kurang
tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama , hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi
teritorial. Kedua, hubungan pusat dan
daerah menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah
menurut dasar federal.[7]
Selain perbedaan, ada persamaan
persoalan hubungan-hubungan pusat dan daerah dalam ketiga bentuk tersebut ,
terutama hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi teritorial dan
hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal. Perbedaanya,dasar hubungan
pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial, bukan merupakan
hubungan antara dua subjek hukum (publiek rechtspersoon) yang masing-masing
mandiri. Satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi tidak mempunyai wewenang
mandiri. Satuan teritorial dekonsentrasi merupakan satu kesatuan wewenang dengan
departemen atau kementerian yang bersangkutan. Sifat wewenang satuan
pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah delegasi atau mandat. Tidak ada
wewenang yang berdasarkan atribusi.[8]
Urusan pemerintahan yang dilakukan
satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah urusan pusat di daerah.
Persamaannya, baik dekonsentrasi maupun otonomi, sama-sama bersifat administratiefrechtelijk,bukan staatsrechtelijk.[9]
Mengenai hubungan satuan federal dengan negara bagian sangat beraneka
ragam. Tergantung sistem federal yang dijalankan. Tetapi ada satu persamaan
dasar pada semua negara federal. Hubungan antara satuan federal dengan negara
bagian merupakan hubungan kenegaraan. Tidak hanya mengenai fungsi
penyelenggaraan administrasi negara. Hubungan itu meliputi juga di bidang
kekuasaan kehakiman dan pembentukan undang-undang. Ada pula sistem federal yang
menyediakan hal-hal yang terbuka dan dapat diselenggarakan federal atau negara
bagian (concurrent power).
Sedangkan hubungan pemerintah pusat
dan daerah atas dasar otonomi teritorial, dimana otonomi teritorial merupakan
konsep dalam negara kesatuan. Satuan otonomi teritorial merupakan suatu satuan
mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum
sebagai subjek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan
(administrasi negara) yang menjadi urusan rumah tangganya. Jadi, hubungan pusat
dan daerah atas dasar otonomi teritorial memiliki kesamaan dengan hubungan
pusat dan daerah atas dasar federal yaitu hubungan antara dua subjek hukm yang
masing-masing berdiri sendiri. Perbedaannya, dalam otonomi teritorial , pada
dasarnya seluruh fungsi kenegaraan dan pemerintahan ada dalam lingkungan
pemerintah pusat yang kemudian dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi .
Pemencaran ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :[10]
Pertama, undang-undang menetapkan secara
tegas berbagai fungsi pemerintahan (administrasi negara) sebagai urusan rumah
tangga daerah. Cara-cara ini mirip dengan cara-cara dalam sistem federal yang
merinci kekuasaan negara bagian.
Kedua, pusat dari waktu ke waktu
menyerahkan berbagai urusan baru kepada satuan otonomi.
Ketiga, pusat mengakui urusan-urusan
pemerintahan tertentu yang “diciptakan” atau yang kemudian diatur dan diurus
satuan otonomi baik karena tidak diatur dan diurus pusat maupun atas dasar
semacam concurrent power.
Keempat, membiarkan suatu urusan yang secara
tradisional atau sejak semula dikenali sebagai fungsi pemerintahan yang diatur
dan diurus satuan satuan otonomi.
Cara-cara
penentuan urusan rumah tangga satuan otonomi ini akan menentukan suatu otonomi
bersifat luas atau terbatas.
Memperhatikan hal tersebut diatas
maka perlu kita analisa mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah di era otonomi daerah ini , agar kita mengetahui apakah
hubungan yang terjadi diantara keduanya merupakan hubungan yang seimbang sesuai
pilihan penyelenggaran pemerintahan berdasar atas otonomi ataukah
dekonsentrasi. Mengingat di negara Indonesia telah terjadi delapan kali
pergantian UU pemerintahan Daerah diantaranya :[11]
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1945
|
UNDANG-UNDANG
NOMOR 22 TAHUN 1948
|
UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1957
|
UNDANG-UNDANG
NOMOR 6 TAHUN 1959
|
UNDANG-UNDANG
NOMOR 18 TAHUN 1965
|
UNDANG-UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 1974
|
UNDANG-UNDANG
NOMOR 22 TAHUN 1999
|
UNDANG-UNDANG
NOMOR 32 TAHUN 2004
|
B. Rumusan Masalah
Oleh
karena latar belakang tersebut diatas maka penulis dapat menarik beberapa
rumusan masalah diantaranya :
1.
Bagaimana hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah serta
problematikanya?
C. Pembahasan
C.1
Pemerintahan Daerah Dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945
Terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dalam pasal 18 UUD 1945 telah diatur pembagian wilayah
negara kesatuan RI menjadi daerah provinsi yang kemudian dibagi lagi menjadi
daerah kabupaten/kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang-undang. Ketentuan tersebut merupakan amandemen kedua yang disahkan pada
tanggal 18 Agustus 2000. Sebelum amandemen ketentuan pasal 18 UUD 1945 sangat
simple , yakni berbunyi : “ Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil , dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang , dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratn dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.[12]
Ketika MPR melakukan amandemen Pasal
18 UUD 1945 dilakukan pengaturan secara komprehensif , yakni disamping mengubah
redaksi pasal juga dilakukan penambahan ayat-ayat dan pasal-pasal baru
berkaitan dengan pemerintahan daerah . Pasal 18 ditambah dengan 6 ayat baru
sehingga menjadi 7 ayat yang antara lain mengatur masalah otonomi daerah dan
tugas pembantuan , pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang dilakukan
secara demokratis dan langsung oleh rakyat, serta kewenangan pemerintah daerah
dalam membuat peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah dan tugas pembantuan. Sedang penambahan pasal baru dilakukan
dengan membuat pasal 18 A yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah di bidang pemerintahan , keuangan , pelayanan umum dan
pemanfaatan sumber daya alam. Sedang penambahan pasal 18 B isinya mengakui
adanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa , serta mengakui
eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya.
Kendati penambahan ayat dan pasal
baru dalam Amandemen Pasal 18 UUD RI 1945 terkesan lebih teknis , tapi kiranya
amandemen tersebut dapat dijadikan pedoman dan dasar peletakkan bagi reformasi
pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan amandemen Pasal 18 UUD RI 1945
maka dilakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan daerah di Indonesia ,
yakni dengan memberikan keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah daerah
untuk mengatur rumah tangganya sendiri.[13]
C.2
Pemerintahan Daerah Pada Orde Lama
Undang-undang yang mengatur
Pemerintahan Daerah pada era Orde Lama diantaranya :
a.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Merupakan undang-undang pertama RI
yang mengatur sistem Desentralisasi , yang di dalamnya mengatur tiga jenis
daerah di Indonesia , yaitu Karesidenan, Kabupaten dan Kota yang masing-masing
berhak mengatur dan mengurus daerahnya sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal
18 UUD RI 1945 .Namun undang-undang ini hanya diberlakukan dalam jangka waktu
tiga tahun , karena undang-undang ini masih sangat sederhana dan banyak
ahal-hal yang belum diatur secara rinci. Salah satunya banyak DPRD yang
merupakan kelanjutan dari BPRD tidak mengetahui tugas dan wewenangnya sehingga
menggangu kinerja pemerintahan di daerah.
b.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
Membagi daerah di Indonesia menjadi
tiga daerah otonom , yaitu Provinsi, Kabupaten (Kota Besar) dan Desa (Kota
Kecil) . Sedangkan Karesidenan meskipun mempunyai DPRD tidak ditetapkan sebagai
daerah otonom. Hal ini berbeda dari undang-undang sebelumnya. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948 juga lebih detail dalam mengatur pemerintahan daerah. Hal
ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 Undang-Undang nomor 22 Tahun 1948 yang menyatakan bahwa :
a.
Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan DPD
b.
Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari Anggota DPRD
c.
Kepala Daerah menjabat Ketua dan Anggota DPD
Dengan demikian maka yang memegang
kekuasaan tertinggi di daerah adalah DPR dan DPD. Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah menurut UU ini dijalankan berdasar pada hak otonomi dan hak pembantuan
Ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberlakukan terjadi penggantian UUD
RI 1945 terkait perubahan bentuk pemerintahan , yaitu diganti dengan konstitusi
RIS 1949 dan kemudian diubah lagi dengan UUD sementara 1950. Guna menyelesaikan
dengan ketentuan yang baru tersebut maka undang-undang tentang Pemerintah
Daerah pun kemudian diganti kembali.
c.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
Pembagian daerah-daerah oleh undang-undang
ini dilakukan dengan menyebut tingkatannya , yaitu tingkat I dan tingkat II.
Demikian pula penyebutan lembaga daerahnya (DPRD dan DPD) jika diikuti dengan
tingkatan hal itu berrati mengacu pada tingkat daerah tersebut , yaitu daerah
tingkat I meliputi daerah Provinsi , termasuk daerah Istimewa. Sedang daerah
tingkat II adalah merupakan daerah kabupaten atau kotamadya. Apabila tidak
disebutkan tingkatannya berarti daerah tersebut adalah daerah swatantra atau daerah
istimewa.
Beberapa karakteristik sistem
pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
adalah :[14]
Pertama, otonomi yang diberikan bersifat
otonomi riil. Artinya, banyak sedikitnya fungsi atau urusan yang diserahkan
kepada daerah otonom didasarkan pada kepentingan dan kemampuan daerah
bersangkutan.
Kedua, pembagian daerah-daerah dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 agak berbelit-belit mengingat istilah daerah
yang digunakan sebagai suatu istilah teknis yang berarti satuan organisasi yang
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun pembagian daerah menurut
Undang-Undang ini adalah Daerah Tingkat I setingkat Provinsi termasuk Kotapraja
Jakarta Raya; Daerah Tingkat II setingkat kabupaten termasuk kotapraja; dan
daerah tingkat III.
Ketiga,
hubungan daerah dengan pusat atau hubungan antar daerah diatur sedemikian rupa
sehingga tetap dalam kerangka Negara Kesatuan RI, yakni tidak boleh
mengakibatkan rusaknya hubungan antara Negara dengan daerah atau antara daerah
yang satu dengan lainnya.
Keempat, organisasi pemerintah daerah tetap
terdiri atas dua lembaga , yaitu DPRD selaku lembaga eksekutif , dan DPD. Hal
menarik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah kepala daerah
dipilih oleh DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD.
Kelima, kekuasaan , tugas dan wewenang DPRD
dalam Undang-Undang ini semakin besar dan luas.
Namun dengan kembalinya konstitusi
RI pada UUD 1945 maka peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mendasarkan
pada konstitusi yang lama jelas tidak sesuai lagi.
d.
Penpres Nomor 6 Tahun 1959
Penpres ini menentukan bahwa kepala
daerah adalah alat pemerintah pusat dan alat pemerintah daerah. Sebagai alat
pemerintah pusat maka kepala daerah bertugas mengurus ketertiban dan keamanan
umum di daerah;mengkoordinasikan antara jawatan pemerintah pusat di daerah
dengan pemerintah daerah; melakukan pengawasan jalannya pemerintahan daerah;
dan menjalankan kewenangan umum lainnya yang terletak dalam bidang urusan
pemerintah pusat. Diatur pula dalam Penpres ini bahwa kepala daerah tidak
bertanggung jawab kepada DPRD , sehingga kepala daerah tidak diberhentikan oleh
DPRD. Dengan demikian maka sistem pemerintahan daerah masih bersifat
sentralistis karena semua masih diatur oleh pemerintah pusat. Hal agak
menyimpang adalah bahwa kepala daerah karena jabatannya menjabat sebagai ketua
DPRD , namun bukan sebagai Anggota.
Berbagai problematika
penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut penpres ini kemudian dilakukan
penyempurnaan dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.
e.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
Beberapa hal baru mengenai
penyelenggaraan pemerintahan daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1965, yaitu :[15]
Pertama, pembagian daerah Indonesia dilakukan
dalam tiga tingkatan , yaitu daerah Provinsi dan/atau Kota Raya sebagai daerah
tingkat I ; daerah Kabupaten dan atau kotamadya sebagai daerah tingkat II ; dan
daerah kecamatan dan/kotapraja sebagai daerah tingkat III. Ketiga kegiatan
daerah tersebut berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Kedua, Dalam undang-undang ini pimpinan
DPRD dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah.
Ketentuan demikian jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan
pembagian kekuasaan , dimana antara DPRD dan kepala daerah kedudukannya
sederajad.
Ketiga, Hampir semua kekuasaan, tugas dan
kewajiban DPRD dilimpahkan kepada kepala daerah.
C.3
Pemerintahan Daerah Pada Era Orde Baru – Saat ini
a.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah
selama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah berjalan dengan dimensi yang amat berbeda dibandingkan
dengan era sebelumnya. Secara kontekstual , selama penerapan undang-undang
tersebut, diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah , yaitu otonomi
yang nyata dan bertanggungjawab. Sebagai undang-undang produk era baru , yang
pada prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi. Dimensi perundangan ini tidak
bisa terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy
pembangunan, yaitu : stabilitas yang makin mantap,pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya.[16]
Pengaruh yang cukup signifikan dari
trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk
terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah, yang cirri-cirinya meliputi :[17]
a.
Konsentrasi kekuasaan ada di lembaga eksekutif (kepala daerah)
b.
Ditutupnya akses parpol dalam pemerintahan daerah, dihapusnya BPH (Badan
Pemerintahan
Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam pemerintahan daerah (versi UU No.1
Tahun 1957).
c.
Tidak dilakukannya hak equate (angket) DPRD yang dapat mengganggu keutuhan
kepala
daerah.
d.
Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD , tetapi secara hierarki
kepada
presiden.
e.
Kepala daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentag pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan 1 (satu)
tahun sekali.
Upaya lain yang dilakukan Pemerintah
Orde Baru untuk memperkuat posisi kekuasaannya adalah memberikan peran dan
kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif di daerah
(dalam hal ini kepala daerah) . Hal itu ditandai dengan pemberian sebutan
kepala daerah sebagai “penguasa tunggal” di daerah. Tidak mengherankan jika
kedudukan kepala daerah pada waktu itu sangat sentral dan dominan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kepala daerah merupakan boneka atau
kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat (Presiden) untuk mengamankan setiap
kebijakan pemerintah di daerah.[18]
Selama pelaksanaan undang-undang
tersebut , berkembangnya tuntutan otonomi daerah secara nyata tidak terlepas
dari kenyataan ketimpangan antar daerah yang telah berlangsung lama ,
setidaknya terdapat lima kesenjangan yang kronis :[19]
1.
Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar
2.
Kesenjangan investasi daerah yang besar
3.
Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta
infrastruktur yang
terpusat
4.
Pendapatan daerah dikuasai pusat
5. Net Negative Transfer yang besar
.Salah satu yang mendorong melebarnya kesenjangan
regional adanya ketimpangan alokasi
kredit.
Implikasi dari dominasi kekuasaan lebih
berat pada Pemerintah pusat dan kepemimpinan di daerah yang berorientasi ke
atas (pusat) menyebabkan rakyat berada pada posisi yang lemah (strong state and weak society), di mana nilai-nilai
kedaulatan rakyat mengalami pengikisaan akibat kuatnya kekuasaan pemerintah
yang tercermin dalam struktur kekuasaan dan garis kepemimpinan sampai ke daerah
.
Dengan konsep otonomi yang demikian
, Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan sebuah “institusi otonom” yang bisa
menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil Pemerintah Pusat di
daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan konsep
dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah
manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau
sentralisme yang dikemas dengan dekonsentrasi.[20]
b.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
KONSEP
DASAR UU NOMOR 22 TAHUN 1999[21]
1.
Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom
2.
Keleluasan daerah untuk mengatur/mengurus kewenangan semua
bidang pemerintahan kecuali enam
kewenangan
3.
Kewenangan yang utuh dalam
perencanaan,pelaksanaan,pengawasan,dan
pengendalian
4.
Pemberdayaan masyarakat,tumbuhnya prakarsa,inisiatif,meningkatnya
peran masyarakat dan legislatif
|
Banyak hal baru yang diakomodasi
oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, salah satunya adalah pemisahan antara
lembaga legislatif dan eksekutif di daerah dalam bentuk susunan pemerinthan
daerah. Sebelumnya kedua lembaga tersebut merupakan satu kesatuan yang disebut
pemerintah daerah. Menyertai pemisahan kedua lembaga tersebut maka kepada DPRD
diberikan tugas, hak dan wewenang yang sangat luas dan bernuansa
parlementarian. Misalnya, hak DPRD untuk meminta pertanggungjawaban kepala
daerah atas suatu kasus. Di samping itu kepada kepala daerah diberi kewajiban
untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran.
Ketentuan tersebut membuka peluang terjadinya penolakan oleh DPRD yang dapat
berujung pada upaya pemberhentian (empeachtment) terhadap kepala daerah.[22]
Mengenai kewenangan daerah otonom
menurut pasal 7 ayat 1 dan 2 Bab IV UU Nomor 22 Tahun 1999, mencakup urusan
dalam seluruh bidang Pemerintahan , kecuali urusan yang telah ditetapkan sebagai
urusan negara, yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, yaitu urusan :
a.
Bidang politik luar negeri;
b.
Bidang pertahanan keamanan;
c.
Bidang Peradilan;
d.
Bidang moneter dan fiskal;
e.
Bidang agama;
f.
Kewenangan (urusan) bidang lain.
Kewenangan /urusan yang disebutkan
setelah kata kecuali dan kewenangan / urusan bidang lain , tersebut di atas
merupakan kewenangan / urusan negara yang tidak dibagikan kepada daerah otonom
, dan tetap diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, namun pelaksanaannya bisa dilimpahkan
kepada Gubernur Provinsi , yang merupakan wakil Pemerintah Pusat di wilayah
Administrasi Provinsi. Ketentuan tentang urusan daerah (otonom) tersebut berbeda dengan ketentuan urusan
daerah (otonom) menurut undang-undang sebelumnya , yang disebut nyata dan
bertanggungjawab, karena dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 disebutkan bahwa urusan daerah disebut dengan katagori otonomi daerah
secraa utuh pada daerah kabupaten dan daerah kota , dan otonomi terbatas pada
daerah provinsi, tetapi dengan sebutan yang sama yaitu otonomi yang luas,nyata,
dan bertanggungjawab.
c.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Ternyata Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999,menimbulkan dampak negatif,yakni munculnya arogansi beberapa dearah
, sehingga terkesan terjdi “pembangkangan” di beberapa daerah. Demikian pula
dominasi peran DPRD atas kepala daerah yang mempunyai kewenangan memberhentikan
kepala daerah dengan alasan pertanggungjawaban tahunannya tida diterima oleh
DPRD menjadikan hubungan antara kepala daerah dengan DPRD di beberapa daerah
menjadi tidak harmonis.
Berikut perbedaan antara
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 :[23]
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999
|
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004
|
-
DPRD Berkedudukan sejajar dan menjadi
mitra
Pemerintah Daerah
-
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala
Daerah Provinsi,Kepala Daerah
Kabupaten,Kepala Daerah Kota dan perangkat daerah lainnya
-
Desentralisasi merupakan titik berat
otonomi
daerah
-
Otonomi luas,nyata dan bertanggungjawab
-
Titik berat adalah daerah kabupaten/kota
-
Substansinya telah mengatur tentang
pemerintahan
daerah/desa
-
DPRD berkedudukan sebagai Lembaga
Legislatif
Daerah
- Pemilihan kepala daerah melalui
perwakilan
(DPRD).
|
-
DPRD berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara
pemerintahan daerah
-
Pemerintahan Daerah terdiri dari
Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD
Provinsi, Pemerintahan Kab/Kota terdiri dari Pemerintah dan DPRD Kab/Kota
-
Desentralisasi dilaksanakan bersamaan
dengan
tugas pembantuan
-
Otonomi luas,nyata dan bertanggungjawab
-
Titik berat otonomi pada kabupaten/kota
-
Mengatur Pemerintahan Desa (ada
pengakuan
tentang otonomi desa)
-
DPRD berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah,
dan mitra pemerintah daerah
-
Pemilihan Kepala Daerah Langsung oleh
rakyat.
|
PERBANDINGAN
ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN
2004[24]
NO.
|
DIMENSI
PERBANDINGAN
|
UU
NO. 22 TAHUN 1999
|
UU
NO. 32 TAHUN 2004
|
1
|
Dasar
Filosofis
|
Keanekaragaman dalam
kesatuan
|
Keanekaragaman dalam
kesatuan
|
2
|
Pembagian
satuan pemerintahan
|
Pendekatan
besaran dan isi otonomi (size and content approach), ada daerah besar dan
daerah kecil yang masing-masing mandiri, ada daerah dengan otonomi terbatas
dan ada yang otonominya luas
|
Pendekatan
besaran dan isi otonomi (size and content approach), dengan menekankan pada pembagian
urusan yang berkeseimbangan berdasarkan asas
eksternalitas,akuntabilitas,efisiensi.
|
3
|
Fungsi utama
pemerintahan daerah
|
Pemberi pelayanan
masyarakat
|
Pemberi
pelayanan masyarakat
|
4
|
Penggunaan asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah
|
Desentralisasi
terbatas pada daerah provinsi, dan luas pada daerah
kabupaten/kota;Dekonsentrasi terbatas pada kabupaten/kota dan luas pada
provinsi;Tugas pembantuan yang berimbang pada semua tingkatan pemerintahan
|
Desentralisasi
diatur berkeseimbangan antara daerah provinsi,kabupaten/kota; Dekonsentrasi
terbatas pada kabupaten/kota dan luas pada provinsi; Tugas pembantuan yang
berimbang pada semua tingkatan pemerintahan.
|
5
|
Pola
otonomi
|
A-simetris
|
A-simetris
|
6
|
Model organisasi
pemerintahan daerah
|
Local
Democratic Model
|
Perpaduan
antara Local Democratic Model dengan Structural Efficiency Model
|
7
|
Unsur pemerintah
daerah
|
Kepala daerah dan
Perangkat daerah
|
Kepala
daerah dan Perangkat daerah
|
8
|
Mekanisme
transfer kewenangan
|
Pengaturan dilakukan
dengan pengakuan kewenangan ,isi kewenangan pemerintah pusat dan provinsi
sebagai daerah otonom terbatas , sedang isi kewenangan daerah kabupaten/kota
luas (General Competence Principle)
|
Tidak menggunakan
pendekatan kewenangan melainkan pendekatan urusan yang didalamnya terkandung
adanya aktivitas , hak, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab.( General
Competence Principle)
|
9
|
Unsur
pemda yang memegang peranan dominan
|
Badan Legislatif
Daerah (Legislative Heavy)
|
Menggunakan
prinsip check and balances antara pemda dengan DPRD
|
10
|
Pola pemberian
dana/anggaran
|
Uang mengikuti fungsi
(money follow function)
|
Uang mengikuti fungsi
(money follow function)
|
11
|
Sistem
kepegawaian
|
Sistem
terpisah (separated system)
|
Mixed system, dengan
memadukan antara integrated system dengan separated system
|
12
|
Sistem pertanggung jawaban
pemerintahan
|
Ke
samping kepada DPRD
|
Kepada konstituen :
Pusatà Laporan
DPRDà Keterangan
Rakyatà Informasi
|
13
|
Sistem
pengelolaan keuangan antar asas pemerintahan
|
Dikelola
secara terpisah untuk masing-masing asas
|
Dikelola
secara terpisah untuk masing-masing asas
|
14
|
Kedudukan
kecamatan
|
Sebagai
lingkungan kerja perangkat daerah
|
Sebagai
lingkungan kerja perangkat daerah
|
15
|
Kedudukan
Camat
|
Sebagai
perangkat daerah
|
Sebagai
perangkat daerah
|
16
|
Kedudukan
desa
|
Relatif
mandiri
|
Relatif
mandiri
|
17
|
Pertanggungjawaban
kepala desa
|
Kepada
rakyat melalui BPD
|
Tidak
diatur secara khusus dalam UU, diatur dalam perda berdasarkan PP
|
C.2
Hubungan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah
Hubungan antara pusat dan daerah
merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan, karena masalah tersebut dalam
prakteknya sering menimbulkan upaya tarik-menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua
satuan pemerintahan . Terlebih dalam negara kesatuan, upaya pemerintah pusat
untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas
sekali.
Alasan menjaga kesatuan dan
integritas negara merupakan salah satu alasan pemerintah pusat untuk senantiasa
mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan peran dan
hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri dalam rangka
mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya.
Dominasi pemerintah pusat atas
urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah dalam negara kesatuan (eenheidstaat) menjadi tidak harmonis atau
bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul gagasan untuk
mengubah negara kesatuan menjadi negara federal. Dengan perktaan lain, gagasan
negara federal atau negara serikat dapat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan
yang dianggap berlebihan (a highly centralized government), di samping terdapat
sebab lain seperti hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dianggap
kurang adil (soal prosentase) yng merugikan daerah.[25]
Di dalam hubungan antara pusat dan
daerah paling tidak ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah
dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan,hubungan
pengawasan,dan hubungan yang timbul dari susunan organisasi pemerintahan di
daerah.
a.
Hubungan Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata dasar
“wewenang” yang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht).
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.Atau
kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kehendak. Dalam hukum, wewenang
sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya dengan
otonomi daerah,hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri
(selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen). Sedangkan kewajiban
mempunyai dua pengertian yakni horizontal dan vertikal. Secara horizontal
berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Dan
wewenang dalam pengertian vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah negara secara keseluruhan.[26]
Desentralisasi yang dianut dalam
konsep negara kesatuan pada akhirnya juga akan mempengaruhi hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah , khususnya yang berkaitan dengan distribusi
kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu, adanya
satuan pemerintahan yang berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain
adalah untuk mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.[27]
Dalam negara kesatuan , semua
kekuasaan pemerintahan ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat dapat
mendelegasikan kekuasaannya kepada unit-unit konstituen tetapi apa yang
didelegasikan itu mungkin juga ditarik kembali.
Sejalan dengan pendapat tersebut,
wolhof juga menyatakan bahwa dalam negara kesatuan pada asasnya kekuasaan
seluruhnya dimiliki oleh pemerintah pusat. Artinya, peraturan-peraturan pemerintah
pusatlah yang menentukan bentuk dan susunan pemerintahan daerah otonom,
termasuk macam dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya sendiri. Daerah otonom
juga turut mengatur dan mengurus hal-hal sentral (medebewind) ,pemerintah pusat
tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom
tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh
Clarke dan Stewart , mereka melihat bahwa terdapat tiga model hubungan
kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yaitu model
otonomi relatif, model agen, model interaksi. Model relatif, model ini memberikan kebebasan kepada pemerintah
daerah , dan pada saat yang sama tidak mengingkari realitas negara bangsa.
Penekanannya adalah dengan memberikan kebebasan bertindak pada pemerintah
daerah dalam kerangka kerja kekuasaan dan kewajiban yang telah ditentukan.
Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah oleh karenannya ditentukan oleh
perundang-undangan.Pengawasan dibatasi. Pemerintah daerah meningkatkan
kebanyakan dari penghasilannya melalui pajak langsung. Dalam model otonomi
relatif pemerintah daerah dapat membuat kebijakan yang dibagi dengan pemerintah
pusat atau yang berada dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Model
Agensi, ini adalah model pemerintahan daerah yang dilihat terutama sebagai
agen pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini diyakinkan melalui
spesifikasi yang terperinci dalam peraturan,perkembangan peraturan dan
pengawasan.
Model
Interaksi, dalam model ini sulit ditentukan ruang lingkup kegiatan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah , karena mereka terlibat dalam pola
hubungan yang rumit, yang penekanannya ada pada pengaruh yang menguntungkan
saja.
Hubungan kewenangan, antara lain
bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara
menetukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan
suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai
otonomi terbatas apabila: Pertama;
urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara katagoris dan pengembangannya
diatur dengan cara-cara tertentu pula. Kedua;
apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa , sehingga
daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara
mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.Ketiga; sistem hubungan keuangan
antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan
keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.[28]
Berikut kewenangan/urusan daerah
menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah :
Pasal
7 ayat (1) :
(1)
Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri,pertahanan keamanan,peradilan,moneter dan fiskal,agama,
serta kewenangan bidang lain.
(2)
Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan
tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan,sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
Sedangkan kewenangan/urusandaerah
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah :
Pasal
10 ayat (1) :
(1)
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusn
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(3)
Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a.
politik luar negeri ;
b.
pertahanan;
c.
keamanan;
d.
yustisi ;
e.
moneter dan fiskal nasional; dan
f.
agama
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 dalam melakukan pendistribusian kewenangan antara pemerintah pusat dengan
daerah, membedakan urusan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan
yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilakukan bersama
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap
urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada
provinsi dan juga ada urusan pemerintahan yang diserahkan kepada
kabupaten/kota.
b.
Hubungan Pengawasan
Pengertian pengawasan oleh Bagir
Manan yaitu “Pengawasan (toezicht,supervision) adalah suatu bentuk hubungan
dengan legal entity yang mandiri, bukan hubungan internal dari entitas yang
sama. Bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata menurut atau berdasarkan
ketentuan undang-undang. Hubungan pengawasan hanya dilakukan terhadap hal yang
secara tegas ditentukan dalam undang-undang . Pengawasan tidak berlaku atau
tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan atau berdasarkan
undang-undang.[29]
Sistem pengawasan juga menentukan
kemandirian satuan otonomi. Untuk menghindari agar pengawasan tidak melemahkan
otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik baik lingkup maupun
tata cara pelaksanaannya. Karena itu hal-hal seperti memberlakukan prinsip
“pengawasan umum” pada satuan otonomi dapat mempengaruhi dan membatasi
kemandirian daerah. Makin banyak dan intensif pengawasan makin sempit
kemandirian makin terbatas otonom.
Sebaliknya,tidak boleh ada sistem
otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan. Kebebasan berotonomi dan
pengawasan merupakan dua sisi dari satu lembaran dalam berotonomi untuk menjaga
keseimbangan bandul antara kecenderungan desentralisasi dan sentralisasi yang
dapat berayun berlebihan.[30]
Macam atau jenis pengawasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah sungguh sangat beragam, tergantung sudut
pandang mana yang digunakan. Demikian halnya, lembaga atau institusi yang
melakukan pengawasan, maka tidak mustahil akan terjadi tumpang tindih atau
tidak berkaburan dalam peran dan fungsi pengawasan di lapangan. Berikut ini
klasifikasi macam ruang lingkup pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah :
1.
Pengawasan dari segi Institusi (Lembaga)
Ada dua macam pengawasan pada segi
ini, yaitu pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pengawasan internal
adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi pemerintah itu
sendiri. Contoh : Inspektorat Wilayah Propinsi, Inspektorat Wilayah Kabupaten,
Inspektorat Wilayah Kota.
Pengawasan eksternal adalah pengawasan
yang dilakukan oleh lembaga pengawas yang sama sekali berada di luar organisasi
atau birokrasi pemerintah. Contoh : Pengawasan aspek politik oleh DPR-DPRD,
Pengawasan aspek keuangan oleh BPK, Pengawasan aspek hukum oleh lembaga
Peradilan, Pengawasan aspek sosial oleh Institusi Pers,Organisasi
kemasyarakatan,LSM dll, Pengawasan aspek etik oleh Komisi Ombudsman Nasional.
2.
Pengawasan dari segi substansi atau objek yang diawasi
Dari segi substansi maupun objeknya
, pengawasan dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin atau pengawas dengan
mengamati,meneliti,memeriksa,mengecek sendiri secara “on the spot” ditempat pekerjaan terhadap objek yang diawasi. Jenis
pengawasan semacam ini sering disebut pula dengan sidak. Sedang pengawasan
tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima baik
lisan maupun tertulis, mempelajari masukan masyarakat dan sebagainya tanpa
terjun langsung di lapang.
Objek yang diawasi dalam jenis
pengawasan ini adalah pengawasan terhadap semua urusan pemerintahan (daerah)
yang telah menjadi kewenangannya. Misal berdasar UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah
pengawasan pada bidang lingkungan hidup,pariwisata,pendidikan,kesehatan,pemerintahan
dsb. Sifat pengawasannya bisa menyangkut soal administratifnya, dari segi
legalitas hukumnya, maupun dari pertimbangan kemanfaatannya.
3.
Pengawasan dari Segi Waktu
Pengawasan dari segi waktu dapat
dibedakan ke dalam pengawasan preventif (kontrol a-priori) dan pengawasan
represif (kontrol a-posteriori). Pengawasan preventif adalah pengawasan yang
dilakukan sebelum pelaksanaan (masih bersifat rencana) atau sebelum
dikeluarkannya kebijakan pemerintah (baik berupa peraturan maupun ketetapan).
Pengawasan represif adalah
pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan dilaksanakan atau setelah peraturan
atau ketetapan pemerintah dikeluarkan.
4.
Pengawasan Lintas Sektoral
Pengawasan Lintas sektoral adalah
pengawasan yang dilakukan secara bersama-sama oleh dua atau lebih perangkat
pengawasan terhadap program-program dan kegiatan pembangunan yang bersifat
multi sektoral yang menjadi tanggungjawab semua departemen atau lembaga yang
terlibat dalam program atau kegiatan tersebut.
c.
Hubungan Keuangan
Hubungan keuangan pusat dan daerah
dilakukan sejalan dengan prinsip Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah sebagaimana yang
telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Perimbangan keuangan antara
pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai
konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah dan pemerintah daerah.
Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan bagian
pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan negara dan dimaksudkan
untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan pemerintahan yang diserahkan,
dilimpahkan,dan ditugasbantukan kepada daerah.[31]
Hubungan keuangan pusat dan daerah
dalam rangka otonomi daerah dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada daerah
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. UU Nomor 33 Tahun 2004 telah
menetapkan dasar-dasar pendanaan pemerintahan daerah sebagai berikut. Sesuai
dengan pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2004, penyelenggaraan urusan pemerintahan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didanai APBD. Penyelenggaraan
urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi didanai APBN.
Berikut beberapa hal yang diatur
dalam Perimbangan keuangan pusat dan daerah :
1.
Pajak Daerah
Adalah,
iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku,yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan pembangunan daerah.
2.
Retribusi Daerah
Adalah,
pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disesiakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan.
3.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Adalah,
pajak yang dikenakan atas bumi dan atau bangunan. Pembagian hasilnya dibagi
dengan imbalan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah. Dibagi dengan
rincian sebagai berikut :
1.
16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan
2.
64,8% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan
3. 9%
untuk biaya pemungutan
Selanjutnya
10% penerimaan PBB sebagai bagian pemerintah pusat.
Alokasi untuk kabupaten dan kota
sebesar 10% bagian pemerintah pusat di atas dibagi dengan rincian sebagai
berikut.
1.
6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota. Pembagian ini
dimaksudkan dalam rangka pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah.
2.
3,5% dibagikan secara intensif kepada kabupaten/kota
4.
Dana Alokasi Umum (DAU)
Adalah,dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. DAU dialokasikan untuk provinsi,kabupaten/kota. Misal:
Pendidikan,Kesehatan,Irigasi,Jalan dan prasarana umum,Pertanian,Kelautan dll.
5.
Dana Alokasi Khusus
Adalah, dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional.Misal: Bidang kesehatan,Bidang Pendidikan,Bidang
Infrastruktur.
d.
Hubungan Pusat dan Daerah Serta Susunan Organisasi Pemerintahan di Daerah
Banyaknya kantor-kantor pusat di
daerah sangat mempengaruhi kemandirian otonomi. Pembentukan kantor pusat di
daerah (Kanwil/Kandep) berkembang pesat selama UU Nomor 5 Tahun 1974 berlaku.
Kantor-kantor ini menimbulkan dualism pemerintahan di daerah. Selain itu pemerintahan
menjadi tidak efisien karena trelalu banyak koordinasi yang harus dilakukan. Apalagi
diadakan pula urusan pusat dalam lingkungan satuan pemerintahan otonomi,seperti
direktorat sosial politik di propinsi,kabupaten,dan kota. Kepala daerah
merangkap sebagai kepala wilayah. Untuk lebih menjamin kemandirian
daerah,kantor-kantor pusat di daerah dapat di serahkan pelaksanaannya kepada
satuan pemerintahan otonomi melalui tugas pembantuan.[32]
Namun pada saat itu dengan lahirnya
UU Nomor 22 Tahun 1999 penghapusan Kanwil/Kandep merupakan suatu
kemestian,karena semua fungsinya menjadi urusan rumah tangga daerah. Tetapi
tidak berarti setiap Kanwil atau Kandep akan menjadi dinas daerah. Pada tingkat
propinsi,pada dasarnya Kanwil mesti dibubarkan
mengingat berbagai urusan tersebut menjadi urusan kabupaten atau kota,
bukan urusan propinsi. Di tingkat kabupaten atau kota, mungkin dibentuk dinas
baru , digabung atau dihapus. Semuanya diukur dari efisiensi dan produktifitas
organisasi agar fungsi pelayanan terhadap masyarakat dapat terlaksana dengan
baik.
C.3
Problematika Hubungan Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah bukannya
meningkatkannya kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi (finansal) dan
pelayanan publik tapi sebaliknya wabah korupsi yang merajai hampir sebagian
besar pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi gelap dari pelaksanaan otonomi
daerah selama beberapa tahun perjalanannya . Hebatnya korupsi di daerah
dilakukan secara serentak dan bersama-sama yang melibatkan hampir semua elit
local dengan menggerogoti APBD,DAU,DAK. Korupsi telah menghancurkan ekspektasi
masyarakat yang begitu besar terhadap otonomi daerah yang bisa melahirkan
berkah bukan musibah.
Sepanjang pelaksanaan otonomi daerah
sampai penghujung tahun 2010 kasus-kasus korupsi serentak mewarnai perjalanan
otonomi daerah . Dalam Tahun 2004-2010 ada sebanyak 147 kepala daerah
tersangkut kasus korupsi , 18 gubernur,17 walikota, 84 Bupati,1 Wakil Gubernur
, 19 wakil bupati. Dengan estimasi total kerugian negara mencapai
Rp.4.814.248.597.729.[33]
Hal ini membuktikan lemahnya fungsi pengawasan dan etika dari para elit di
daerah.
Demikian juga dengan daerah
pemekaran sebagai buah dari otonomi daerah tidak mampu mensejahterakan
masyarakat. Hampir semua daerah pemekaran boleh dikatakan stagnan dalam
menjalankan roda pemerintahan. Tidak ada sesuatu yang berubah pasca pemekaran.
Bahkan ada daerah pemekaran yang telah berusia lebih lima tahun tidak mampu
berdiri sendiri dan masih terus disusui pemerintah pusat lewat APBN.
Ironinya kondisi pengawasan daerah
saat ini masih adanya tumpang-tindih pelaksanaan pengawasan dari unsur internal
maupun eksternal. Selain itu akses terhadap pengawasan sosial terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah , belum memiliki prosedur baku, dikaitkan
dengan sistem kerahasiaan dokumen negara. Selain itu, tindak lanjut pengawasan
oleh pemerintah daerah yang belum transparan, termasuk belum terdapatnya ,
pengaturan terhadap pemberian sanksi kepada pemerintahan daerah melakukan
kesalahan terhadap masyarakat dalam melakukan pelayanan publik.
Apalagi sistem koordinasi pengawasan
antara aparatur , pengawasan,belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan
pengawasan yang dikehendaki masyarakat. Dengan melihat permasalahan dan sasaran
pengawasan yang ingin dibangun maka diperlukan strategi penyusunan sistem
perencanaan pengawasan yang terintegrasikan antara pengawasan eksternal dan
internal , penegakan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran penyelenggaraan
pemerintahan, penyusunan regulasi pengawasan instansi pemerintahan daerah
,penyusunan regulasi tentang memperoleh informasi pemerintahan oleh publik.
D. KESIMPULAN
1. Penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia dapat kita lihat dalam 3 proses menurut
bagir manan disebut dengan proses
bukan sebagai asas diantaranya sentralisasi,desentralisasi,tugas pembantuan,
kaitannya dengan otonomi dalam
kepustakaan dibagi menjadi 3 yaitu otonomi formil, otonomi materiil dan
otonomi riil.
2.
Dari bentuk-bentuk utama pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan,
akan
dijumpai paling kurang tiga bentuk
hubungan antara pusat dan daerah. Pertama
, hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah menurut
dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar
federal.
3. Di
dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang
menentukan hubungan pusat dan daerah
dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan,hubungan
pengawasan,dan hubungan yang timbul dari susunan organisasi pemerintahan di
daerah.
4.
Pelaksanaan otonomi daerah bukannya meningkatkannya kesejahteraan masyarakat
dari
segi ekonomi (finansal) dan pelayanan
publik tapi sebaliknya wabah korupsi yang merajai hampir sebagian besar
pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi gelap dari pelaksanaan otonomi daerah
selama beberapa tahun perjalanannya . Hebatnya korupsi di daerah dilakukan
secara serentak dan bersama-sama yang melibatkan hampir semua elit local dengan
menggerogoti APBD,DAU,DAK. Korupsi telah menghancurkan ekspektasi masyarakat
yang begitu besar terhadap otonomi daerah yang bisa melahirkan berkah bukan musibah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
1. Jimly
Asshidiqie,Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:Mahkamah
Konstitusi RI
dan Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum UI,2004
2. Muhammad Fauzan, Hukum
Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah ,Yogyakarta:UII
Press,2006
3. Bagir Manan, Menyongsong
Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta: Pusat Studi hukum
Fakultas
Hukum UII,2004
4. J.Kaloh, Mencari
Bentuk Otonomi Daerah suatu solusi dalam menjawab kebutuhan lokal
dan tantangan global,
Jakarta:Rineka Cipta,2007
5. Sudono Syueb, Dinamika
Hukum Pemerintahan Daerah sejak kemerdekaan sampai era
reformasi, Laksbang
Mediatama,2008
6. I Gde Pantja Astawa,Problematika Hukum Otonomi Daerah Di Indonesia, Bandung: PT
Alumni,2008
7. Jazim Hamidi,Mustafa Lutfi, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah,
Malang:UB Press,2011
8. Ahmad Yani,Hubungan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah di Indonesia,
Jakarta:Raja Grafindo
Persada,2008
Peraturan
Perundang-undangan :
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemnerintahan Daerah
[1]
Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
[2]
Pasal 1 angka (7) , Ibid
[3]
Jimly Asshidiqie,Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia,(Jakarta:Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat
Studi
Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum UI,2004) hlm218
[4]
Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan
Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah
, (Yogyakarta:UII Press,2006) hlm65
[5]
Muhammad Fauzan,ibid,hlm 68-69
[6]
Pasal 1 angka (9), Ibid
[7]
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi
Daerah , (Yogyakarta: Pusat Studi hukum Fakultas Hukum
UII,2004), hlm
32-33
[8]
Bagir Manan,Ibid,hlm 33
[9]
Ibid,hlm 33
[10]
Bagir Manan,Ibid,hlm 35
[11]
J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah
suatu solusi dalam menjawab kebutuhan lokal dan tantangan global,(Jakarta:Rineka
Cipta,2007),hlm 2
[12]
Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan
Daerah sejak kemerdekaan sampai era reformasi,(Laksbang Mediatama,2008),
hlm 30
[13]
Sudono Syueb,Ibid, hlm 31
[14]
Sudono Syueb,Ibid, hlm 41
[15]
Sudono Syueb,Dinamika Hukum…..,op cit ,
hlm 47-50
[16]
J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah
suatu solusi dalam menjawab kebutuhan….,loc cit,hlm 27
[17]
J.Kaloh, Ibid, hlm 27
[18]
Sudono Syueb,Ibid,hlm 53
[19]
J.Kaloh,ibid,hlm 27
[20] J.Kaloh,ibid,hlm
31
[21]
J.Kaloh,Ibid,hlm 61
[22]
Sudono Syueb,op cit,hlm 73
[23]
J.Kaloh,op cit,hlm 80
[24]
I Gde Pantja Astawa,Problematika Hukum
Otonomi Daerah Di Indonesia,(Bandung: PT Alumni,2008),hlm
50- 51
[25]
Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan
Daerah Kajian Tentang Hubungan….,loc
cit,hlm 76
[26]
Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan
Daerah Kajian Tentang Hubungan…., Ibid,hlm
80
[27]
Ibid,hlm 80
[28]
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi
Daerah,loc cit, hlm 37
[29]
Jazim Hamidi,Mustafa Lutfi, Dekonstruksi
Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah,(Malang:UB
Press,2011),hlm
42
[30]
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi
Daerah,op cit, hlm 39
[31]
Ahmad Yani,Hubungan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Daerah di Indonesia,(Jakarta:RajaGrafindo Persada,2008),hlm 40
[32]
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi
Daerah,loc cit, hlm 45
[33]
Jazim Hamidi,Mustafa Lutfi, Dekonstruksi
Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah,loc cit,hlm 93
aslkum, slmat mlam dst.. klw bleh tau artikel yang di upload ini hanya sekedar makalah, skripsi atau tesis?
BalasHapussip
BalasHapusthanks ya ilmu nya
BalasHapusThanks gan,..,
BalasHapusjangan lupa mampir di http://sucidalamkehidupan.blogspot.co.id/
izin kutip dan mmpeljari sist
BalasHapus